Beberapa waktu yang lalu berkesempatan ngobrol dengan adik-adik angkatan di SMKN 2 Depok, Sleman yang dulunya dikenal dengan nama Stembayo. Setelah lulus dari sekolah ini sekitar 6 tahun yang lalu, tepatnya pada wisuda tahun 2009, inilah salah satu momen resmi yang saya lakuan di sekolah almamater tercinta waktu SMK.
ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. Persaingan global di segala bidang ini tidak hanya melanda negara-negara ASEAN tetapi juga negara-negara di seluruh penjuru dunia. Bagi negara maju, mungkin adanya persaingan global hanya menuntut mereka untuk menyesuaikan diri dengan negara-negara yang lain. Tetapi bagi negara berkembang seperti Indonesia, adanya persaingan global menuntut untuk meningkatkan segala sektor negara, baik politik, ekonomi, pendidikan, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi.
SMK Negeri 2 Depok merupakan salah satu sekolah kejuruan favorit di kota Yogyakarta karena prestasi siswa dan alumninya di kancah industri nasional. Prestasi siswa tidak perlu diragukan karena terbukti beberapa kali sering ikut serta dalam berbagai lomba di bidang pendidikan seperti LKS (Lomba Kompetensi Siswa) atau yang sekarang dikenal dengan GPBN (Gelar Prestasi dan Bela Negara) dan menjadi pemenang. Dari segi fasilitas, SMK Negeri 2 Depok memiliki gedung sekolah bagi setiap jurusan, sarana praktik, dua lokasi tempat parkir (bagi guru dan bagi siswa), auditorium, lab bahasa, kantin yang dinyatakan sebagai kantin terbaik antara SMA/SMK di kabupaten Sleman.
Namun di balik prestasi dan fasilitas yang luar biasa tersebut, muncul sebuah pertanyaan: Bagaimana kesiapan lulusan anak SMK khusunya SMKN 2 Depok di Indonesia? Bagaimana ketika dibandingkan dengan lulusan SMK dari negara lain di Asia, seperti India maupun China? Atau negara yang dekat saja, seperti Singapura?
Pendidikan kejuruan sebagai salah satu bagian dari sistem pendidikan nasional memainkan peran yang sangat strategis bagi terwujudnya angkatan tenaga kerja nasional yang terampil. Lulusan SMK diharapkan menjadi sumber daya manusia yang siap pakai, dalam arti ketika mereka telah menyelesaikan sekolahnya dapat menerapkan ilmu yang telah mereka dapat sewaktu di sekolah.
Kenyataan di lapangan kerja menunjukkan bahwa daya serap lulusan SMK masih rendah. Hal ini ditunjukkan dengan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik yang menyatakan bahwa Jumlah tenaga kerja Indonesia per Agustus 2014 mencapai 182,99 juta orang. Dari jumlah itu, 7,24 juta orang di antaranya berstatus pengangguran terbuka. Tingkat pengangguran terbuka paling banyak adalah lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK), diploma, dan universitas. Jumlah pengangguran lulusan SMK adalah 11,24 persen dari total jumlah pengangguran.
[gallery columns="2" link="file" ids="2959,2958"]